Wednesday, June 22, 2022

Mission Impossible: Chasing Bus.

  don't think I will forget this day. ... Nah I probably will. But at this moment, it feels like a day that I will have a certain emotions about. Ah, a discovery of a new emotions, suits more.

Jadi ceritanya hari itu di kantor, kerjaan gue udah selesai dan jam pulang tinggal satu jam lagi. Iya bisa sih gue kerjain kerjaan lain. Tapi itu adalah hari Rabu, dan gue pengen aja ngerasain pulang cepet, enggak dengan bis jam 6 dimana gue harus sampe rumah jam 8. Tadi paginya, gue juga dateng satu jam lebih cepet ke kantor. Ya meskipun gue emang enggak langsung kerja. Tapi satu jam dari hari gue terpakai untuk gue di kantor. Gue pengen setidaknya bisa keluar dari kantor aja lah. Takut mumet, atau burn out. Kalo kelamaan di kantor mulu, wkwk.

Kebetulan bis perumahan gue ada juga yang jam 16.30, sebelum bis jam 18.00 itu. Jadi misi gue adalah untuk siap-siap pulang dengan cepat untuk mengejar bis tersebut. Biasanya perjalan dari kantor ke halte bis memakan waktu kurang lebih 20 menit. Biasanya rute gue 10 menit naik ojek dari kantor ke stasiun MRT, dan 10 menit dari stasiun ke halte. Tapi karena merasa naik MRT kelamaan, gue memutuskan untuk langsung aja naik ojek ke halte.

Gue lihat jam, jam 16:01. Oke. Agak impossible, tapi oke. Mission impossible. Mari kita coba.

Jadilah rencana gue untuk pulang dengan mengendap-endap. Atasan gue sempet bilang kalo posisi gue itu sebenernya jam kerjanya fleksible. Asal kerjaan kelar aja. Enggak pernah ada yang mencoba untuk membuktikan itu, sih. Karyawan-karyawan lain yang berada di posisi gue cukup mematuhi jam kerja dengan disiplin. Tapi kebetulan pada saat itu, gue lagi lumayan merasa superior. Karena kerjaan gue lagi keren banget, sampe dipuji-puji. Jadi lah, gue merasa kayaknya akan aman untuk gue mencoba eksperimen ini hari itu.

Ohiya, balik ke mengendap-endap. Karena sebenernya gue males aja pamitan, dan mau menghindari aja pertanyaan-pertanyaan yang mungkin atau tidak ditanya. Jadi gue menunggu kesempatan dimana orang-orang pada lengah. Lucunya, pada saat itu bos gue lagi meeting dan lagi cari-cari spot dengan sinyal wifi paling bagus. DAN DIA COBA DI MEJA GUE, DONG. Gue lihat jam, jam 16:10. Hm.

Gue tetap enggak mengurunkan tekad gue. Gue tetep pesen ojeknya. Entah bagaimana gue tetep harus bisa  pulang cepet, cabut dari kantor ini.

Alhamdulillah, sinyal wifi di meja gue ternyata enggak sebagus itu. Iya sih emang tadinya gue juga di sana streaming YouTube bufferingnya lama banget kayak jaman SD waktu mau nonton YouTube harus nabung buffering dulu baru bisa nonton. Oke intermezzo.

Jam 16:15. Gue langsung dengan cepat rapihin barang-barang gue, sat set sat set, bodo amat kalo ada yang ketinggalan. 

Jam 16:18, gue jalan.

Lucunya dari si bis gue ini. Dia suka ada update posisinya gitu. Share live location. Jadi gue bisa tau nih keberadaan dia. Dengan lucunya, gue juga nge-screenshot, karena gue lagi merasa kayak di Amazing Race aja gitu. Berikut cuplikannya.


Bisa dilihat pada jam 16.25 gue dimana dan Si Bis dimana. Sementara yang gue merahin, adalah tujuan gue. Melihat bahwa sepertinya makin impossible gue untuk mengejar beliau. Dan mana si Ojek ini juga sebenarnya salah jalan, dia keliatan emang enggak tahu jalan gitu sih, patokannya cuma si google maps. Gue juga males ngarahin, cuma asal nyuruh-nyuruh tancep gas aja, wkwkwk. Tapi ada baiknya juga, karena ternyata gue jadi bisa ganti rencana. Jadi mengejar Bis gue di Halte berikutnya. Seperti ini gambarannya:



Oke, bisa nih. Harap gue.

Tapi rintangan terakhir adalah, gue masih harus nyebrang. Karena enggak bisa tuh gue tiba-tiba nyebrang jalanan arteri pusat ibu kota. Karena emang enggak ada penyebrangan. Jadi gue harus nyebrang lewat stasiun MRT. Nyebrang lewat jalur bawah tanah.

Yang lucunya, setelah gue turun dari ojek. Gue bisa melihat, dengan indahnya, BIS GUE UDAH DEKET MENUJU HALTE TUJUAN.

Lantas gue langsung telfon Bapaknya. Minta tungguin. Nyebrang dulu. Bapaknya sih iya-iya aja. Tapi gue tetep dengan kecepatan maksimum, lari di stasiun. Nunggu lift nya buka, udah langsung siap kuda-kuda ngibrit.

Namun yang terjadi... Selang dua detik. Bis Merah Merona itu dengan eloknya tetap jalan, meninggalkan halte. Kali ini gue telpon supirnya, enggak di angkat lagi. Sepertinya sudah cukup sampai di sini, perjuangan kita.

Tentu emosi yang gue rasakan meluap-luap. Langsung gue salurkan ke nyokap gue. Karena, meskipun gue tahu sebenarnya it's not a big deal. Toh akan ada bis selanjutnya yang datang jam 17.00, memang sih bukan bis perumahan, tapi masih bisa kok, membawa gue pulang. 

Tapi pemandangan yang gue liat barusan, berikut dengan perasaan yang mengikuti. Ini adalah worst nightmare gue. Worst scenario. Karena kebetulan juga semalamnya, gue bener-bener mimpi ketinggalan bis. Dan kejadian beneran. Jadi bagai mimpi buruk yang menjadi kenyataan, ini sangat membuat gue terpukul.

Lebih buruknya lagi, gue ini punya ingatan visual yang kuat. Juga dengan ruminating yang tidak kalah seringnya. Jadi pasti, otak gue akan me-replay kejadian tadi berulang-ulang kali, menghantui kedamaian mental gue. Dan setidaknya akan butuh semalaman untuk membuat pikiran gue aman kembali.

Jadi yang gue lakukan, gue pakai waktu untuk bersedih, marah, dan takut sebaik yang gue bisa. Karena gue berhak untuk tetap merasakan emosi ini. Pasti lah, sedih, mengingat ketika gue sudah bertekad dan dengan sekuat tenaga mengejar si bis itu, eh taunya ditinggal gitu aja. Secara pribadi gue agak dendam sama si supir. Tapi mau marah-marah juga enggak enak. Gue enggak tahu kalau gue bisa merasakan hal sedemikian rupa dengan sebuah transportasi. Ternyata enggak cuma ke makhluk sosial.

Sampai sekarang kalau diingat-ingat, gue bisa badmood sendiri. (Ini baru pagi setelahnya) Tapi ya sudah lah. Setidaknya gue bisa melihat masyarakat yang senang berfoto-foto di antara gedung-gedung skyscraper Jakarta. Setidaknya gue bisa melihat mereka bersenang-sbenag dengan sahabat dan pasangan, berpiknik di hutan kota. Setidaknya 30 kemudian, bis yang biasanya full book, masih ada sisa bangku untuk gue. Untungnya jadi manusia, kita selalu bisa melihat hikmahnya.

Gue tahu gue harus bisa memaafkan situasi, si Bis, si Ojek, atasan gue, maupun gue sendiri.

Kejadian ini mungkin tidak segimana-segimana itu. Tapi gue bener-bener jadi merasakan hal yang baru. Yang ingin gue tetap ingat. Makanya, gue menulis blog ini. Tuh kan, hikmah satu lagi, gue jadi ada bahan tulisan, di blog yang sudah lama mati ini.

Begitulah, salah satu cerita dari kehidupan gue ini. Yosh.


Cipete, 

Kamis 09:38 WIB

23/06/22






Monday, June 8, 2020

Broken Road

Kids, when you're 22, you will have a lot of relationships before you finally settle down. Many of which will failed and ended, and that's just part of growing up. Each person that you're in a relationship with is different. Different human, different body, different way of thinking, different experiences and stories. So each person always taught you something new from the relationships. A lesson that you will never learn with anybody else. But weirdly, each relationships always have the same template. Same steps, same phases. But just... Different results.

I've been in a couple relationships with a couple of colleagues at work, a couple of friends at community, but never with someone at university.

He was in the same class as me on one of my Psych class. It was a mixed class, so he who was in the 6th semester class was with my class in the 2nd semester. We only have 3 offline classes, before the Covid-19 happened and changed us to online classes.

When online classes begin to start, he asked me about an assignment, that was our first encounter. His first impression was kinda nice and kind. And with that impression, supports the idea of me seeing him as someone that I can see as my mentor. So I began to ask him about a lot of my assignments too. And after the trusts that grew between us, we began to talk personally.

So we entered the getting to know phase. He's a tutor. He's smart and genuine. He's spiritual too I think. He's nice, he supports a lot. He doesn't mind to spend his time helping someone. He's wise and mature. But with enough amount of sarcastic. And he fricking watched HIMYM. Of course, it wasn't long until I see him as my ideal man.

Until the ultimate one fact reveals.

He's 14 years older than me. When I thought he was only 2-3 years above me.

Of course it made me think. I never have a friendly gesture with someone in that line of generation before. I mean, I worked with many, but all of them are already married and only see me as a clueless kid. And it makes sense. I'm a decade below them. But he, he sees me differently. He sees what's really in me, and what I can become. So I'd think age gap doesn't really matter. That is of course, until what happened today. (We'll get that in a minute)

We began to develop a friendship, I guess. We began to talk almost everyday. He always makes a conversation, and sometimes so did I. And he... He always does this thing when he asked about how I am. Constantly. And it was more than the attention giving gestures of all my friends combine.

I don't know about you, but of course, as always, I see it as a mixed signals.

It was exciting to go to (online) class because I can see him.
I begin to tell my best friends about him, even my mom.
I'd write about him. And sing a song that's meant for him.
I'd be so proud about him.

And then, at some point he called me. And I answered. It was our first phone call.

We had a 4 hours conversation. And I noticed something... Odd.

Something that I can't quite describe.

But you know, when you begin to develop feelings for someone. There's always the blind spot.
That is probably always there, but you just don't address it. Sometimes even, you don't want to address it. So I did ignore that big sign that I'd need in the future.

After the phone call, I still feel kinda weird. I'm skipping our class, because it's still uncomfortable to see him.
And the following week, I begin to avoid him, a little. Until we had our next class. But that time I felt a little better, so I join. And I see him giving presentation, being social with his friends and nice to our teachers. And the feeling was growing back again.

Coincidentally, I had some bad things happened that day, and of course, that episode of his asking "How are you?" led to me opening up.

That was the time he got my "key", and I'm no longer a locked book.

Of course, eventually, he started to opening up too. And I knew a crucial secrets about him.

But it wasn't the answer to how I felt during our phone call.

And our relationships, became stronger. I guess.

He began to call me like I'm his 911.
I began to take care of him.

I began to take care of him.

And when I realized what I'm doing... The next thing I know, I'm looking for an exit, as soon as I can.

Because as much as I like him. There's no way I'm being in a relationships.

I don't want to have the responsible of taking care of someone.

I'm a free young independent woman. And I don't plan to sacrifice that anytime soon. Even if I do like someone, that doesn't mean I want to go full ride. I just want enough fling to entertain me.

Call me scared of commitment or anything, whatever. But right now, I prefer being friends with someone that doesn't require 24/7 of my attention.

And so it begins. My "drifting apart" plan.

I don't reply his text too soon anymore. I'd give it a day or two. Sometimes not at all.

I stopped telling and asking him stuffs.

And you know what, actually, it feels great. I'm back on my own feet. I got more things done. I'm happier. Just like before he came into my life. Just the way I like it.

And of course after awhile, he noticed.

Yesterday, he called me, asked me if he did something wrong.

I didn't have the nerves to answer.

But my best friend, advise me to just tell him the truth(s). Yes, the problem is, there are many other reasons why (that I don't actually mention here). But eventually I did build up the nerves. Bcs i learned on my past relationship, that a good lie is worse than an ugly truth.

So today, I chose the one truth that I thought would hurt him the least. The one about about how I don't want to be dependent on. And I repeat: I thought would hurt him the least.

And as luck would have it, that truth led him to tell me words that probably wasn't a nice thing to say.

He was so angry that he didn't want to admit that he is. And he simply just doesn't want to listen to what I have to say. At a mode like that, whatever I say will meant shits to him. So I just kept my mouth shut, and be nice with the opportunity I have left before he completely shut the door.

And yes, he shut the door. Pretty tight.

And in that moment is when I knew, the answer I've been looking for during our first phone call.

Which I'm not gonna elaborate it here.


So kids, just like that, a relationships ended. The relationship wasn't that long, but it was still something to remember.

An unexpected ending of course. But as it may sounds too selfish. I got what I want. Well maybe not the way it happened. I wished it ended less chaotic. But just like your Uncle R would say, I get what I give (credits to: New Radicals)

Despite everything, our story still have meanings into both of our life. Whatever it is. And of course I couldn't really let it go that easily too, hence the blog post. I need to let it all out, before I can walk in a different life tomorrow. But that's just what happened in a relationships. If one fails, there will always the next one. And a new lesson to learn.

Good night.

// ARSP
8/6/20
10:41 PM

PS: You may noticed that I wrote myself as the perpetrator of killing the relationships, but that's just the way I chose to write it. I'm a writer, I can shape your point of view however I want. ;)

Thursday, March 12, 2020

“Seuntai Kisah dibawah Kubah” Episode: Anak Istimewa

“Seuntai Kisah dibawah Kubah”

Episode: Anak Istimewa

(Media Masjid Darussalam)
Daffa lahir pada tahun 2002, Ibu Fajri berumur 26 tahun. Karena Ibu adalah seorang psikolog, Ibu mempunyai feeling yang lebih sensitif, Ibu memiliki firasat ada yang unik dari Daffa, yang membuatnya berbeda. Awalnya Ibu hanya mengira kalau Daffa hanya hyperactive dan ADHD. Dan karena Ibu masih tetap seorang Ibu yang menginginkan Anak yang “biasa”, Ibu tetap ada rasa denial dan tidak mau menerima seutuhnya, tapi ketika ia memberanikan diri untuk periksa ke dokter, apa yang dikhawatirkannya memang terjadi. Daffa mengidap PDD-NOS  (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specifiedautisme syndrom disorder, ADHD, dan banyak lagi turunannya. Disaat itulah rumah idaman yang telah diidam-idamkan Ibu, yang baru saja dibangun fondasinya, harus runtuh seketika.

Orang tua Daffa sangat terpukul, “Ya Allah, saya nggak pernah minta Anak kayak gini…” dan ditambah serangan-serangan dari keluarga besar, tudingan-tudingan tidak mengenakan hati datang menyerang. Seperti tidak ada lagi jalan terang yang terlihat di depan sana. Tapi… Daffa adalah karunia dan anugerah dari Allah, banyak di luar sana yang menginginkan buah hati tapi tidak mendapatkannya, Allah mempercayakan Daffa kepada mereka untuk dititipi dan dirawat sampai akhir hayat. Jadi kenapa ketika mereka mendapatkan sebuah hadiah ini mereka malah menolaknya? Mereka yang telah melahirkan Daffa ke dunia ini, Daffa tidak punya salah apa-apa, ia juga tidak pernah meminta untuk lahir dalam keadaan seperti ini. Allah yang ingin. Daffa adalah produk Allah yang telah lulus syarat dan ketentuan untuk lahir di dunia. Seperti halnya aku dan kamu. Orang Tua Daffa pun sadar, mereka harus bertanggung jawab untuk anugerah Allah yang satu ini. Dan berjanji untuk menjaganya sebaik-baiknya.

Pada Umur Daffa yang ke-5 tahun, dan Khadijah (Adik Daffa) berumur 1 tahun. Babah Daffa harus menjemput rezekinya di Dhoha, Qatar. Dan satu keluarga kecil itu harus pindah mengikutinya. Sekali lagi, tantangan datang. Punya anak yang berkebutuhan khusus saja sudah merupakan tugas yang cukup berat. Dan kini mereka harus melakukannya seorang diri di negeri orang tanpa bantuan keluarga besar. Namun mereka percaya, pasti Ujian ini bisa mereka laksanakan.

Tantangan yang cukup berat adalah perihal pendidikan dan terapi. Qatar tidak mempunyai tenaga kerja yang bisa berbahasa Inggris cukup banyak, ataupun yang dapat menangani ABK. Sehingga sulit sekali untuk mendapatkan bantuan dari pihak ketiga. And it left Daffa’s mom with no choice, other than to thaught him herself. Meskipun Ibu adalah seorang psikolog, ia tidak terlalu paham dalam menangani seorang pasien langsung, jadi ia harus learn by doing, dan praktek latihannya adalah Anaknya sendiri.

Meskipun begitu, orang tua Daffa tetap ingin mencarikan Sekolah untuk Daffa. Akhirnya mereka coba memasukan Daffa ke satu sekolah, tapi ia harus mengikuti trial test dulu yang biaya untuk testnya saja sudah 10 juta sendiri, dan akhirnya mereka rela membayar… hanya untuk ditolak.

Orang tua Daffa tetap teguh, mereka harus bisa menemukan Sekolah yang cocok untuk Daffa. Babah Daffa sampai meminta bantuan kepada managernya, “How do you expect me to do a great work here when I worried about my child?” Dan Ibunya juga mencari-cari link untuk sekolah yang lain, bersama dengan para orang Tua Indonesia lainnya yang juga memiliki ABK.

Akhirnya mereka menemukan satu sekolah yang berada di perkampungan, yang mengaku akan memiliki fasilitas Special Needs Center setelah bangunan mereka diperbesar. Ibu Daffa dengan tidak sabar menunggu, dan terus mendorong-dorong bahkan ketika bangunannya sudah jadi tapi Kepala Sekolah belum menepati janjinya, karena ternyata ia sendiri juga memiliki kendala dalam mencari seorang guru spesialis ABK. Dan entah bagaimana caranya, Allah memanggil seseorang bergelar master dari Australia ke Sekolah itu dan menjadi sebuah solusi untuk semua orang tua itu. Akhirnya Daffa bisa Sekolah dan mendapat fasilitas dan penanganan yang layak.

Tapi qadarullah, Ujian datang lagi. Harga minyak turun, sehingga Qatar mengalami krisis ekonomi, yang membuat semua perusahaan tidak bisa membayar tenaga kerjanya dengan harga yang semestinya. Hal ini terjadi juga pada Sekolah Daffa, mereka tidak bisa menggaji guru-guru dengan selayaknya. Yang menyebabkan guru Daffa dalam Special Needs Center, harus pergi meninggalkan sekolah itu. Sehingga tidak ada lagi fasilitas Special Needs Center dan Daffa harus sekolah dengan penanganan reguler, tanpa bimbingan siapa-siapa.

Daffa kesal dan ingin pulang saja ke Indonesia. Tapi permintaannya ditolak oleh kedua orang tuanya, karena Babah Daffa belum mungkin untuk kembali kerja di Indonesia lagi. Selama dua tahun Daffa harus sekolah seperti anak-anak reguler, dan permintaannya untuk kembali ke Indonesia selalu ditolak. Tapi Daffa benar-benar ingin pulang, sampai ia rela bila memang harus sendirian di Indonesia. Akhirnya, orang tua Daffa pun tidak tega dan sadar kalau keinginan Daffa untuk bisa bersekolah dengan layak memang sangat kuat. Ibu dan Babah Daffa dengan sangat berat hati, harus berpisah dengan Daffa. Namun Adik Daffa, Khadijah, tidak mau berpisah dengan kakaknya, dan ia juga ikut pulang, meskipun Bahasa Indonesia saja tidak bisa.

Akhirnya Daffa dan Khadijah pulang ke Indonesia, tinggal bersama eyang dan embahnya. Bersekolah di Sekolah Global Mandiri CIbubur. Ibu dan Babah Daffa hanya bisa terus berdoa dari jauh dan mempercayakan mereka kepada Allah. Mereka percaya walaupun mereka tidak bersama di sisi Daffa dan Khadijah, mereka bisa berdoa kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pemilik Hati untuk keselamatan anak-anaknya di Indonesia. On the brightside, Daffa dan Khadijah pun tumbuh menjadi Anak yang mandiri.
Karena Ibu Daffa merawat dan menerapi Daffa seorang diri, Ibu Daffa dapat memberi seminar-seminar kepada orang tua-orang tua lainnya yang kesulitan menerapi anak-anak istimewanya, Ibu Daffa dapat memberikan solusi yang lebih jitu dibanding seorang terapis biasa, karena ia berhadapan langsung 24/7 dengan pasiennya. Ibu Daffa dan teman-teman alumni Psikologi UI juga mendirikan sebuah TK di Cipinang yang memberi fasilitas untuk ABK. Sekarang mereka membuat sebuah aplikasi bernama Sahabatku (https://www.youtube.com/watch?v=3jCX-2tcdOI) yang menyediakan kounseling gratis kepada anak-anak remaja. 

Orang Tua Daffa jadi lebih Tahu makna bersyukur dan percaya akan janji Allah. Karena sendirian di Qatar, orang Tua Daffa jadi mempunyai waktu lebih banyak untuk memperhatikan Daffa. Ibu Daffa juga mengajarkan ngaji kedua anak-anaknya dan menanamkan nilai-nilai keimanan sedari kecil, sehingga Daffa pun sekarang rutin sholat di masjid dan menghafal Al-Qur’an (sekarang Sudah hafal 2 juz) walaupun suka marah ketika disuruh ulang-ulang ayat. Daffa sangat senang bila bisa mengerjakan ibadah wajib dan sunnah-sunnah Rasul, ia sangat ingin bisa sholat di shaf pertama tapi karena takut mengganggu jamaah yang lain, Babah Daffa selalu mengajaknya di shaf paling belakang dan di pojokan (walaupun pada akhirnya tidak berhasil).

  • Quotes 

“Semua makhluk Allah itu sempurna. Cuma kita aja yang kepedan dan sok tau menyebut kita “normal”. Cuma manusia aja yang melabel-labelkan orang “ini” orang “itu”. Bagi Allah, tidak ada produk gagal.”

Saturday, December 30, 2017

It's Time To Begin, Isn't It?

Assalamualaikum wr, wb.

Ya gue baru aja mengutip lagunya Imagine Dragons, tapi itu sebenernya cuma kebetulan, gue cuma pengen pake kalimat itu.
Karena, telah tiba waktunya untuk memulai.
Memulai kembali.
Begin Again.

Seperti biasa, tak terasa sebentar lagi tahun baru. Sebentar lagi insyaAllah gue akan ulang tahun yang ke 20. Nggak sih gue nggak merasa tua. Gue malah bersyukur, karena dengan bertambahnya umur, akan bertambah lagi tahun yang akan gue lewati, dengan segala rintangan dan ujian-ujiannya yang ada, yang eventually akan mengasah mental gue menjadi lebih bijaksana. Ya, gue harap gue akan makin dewasa, bukan hanya makin tua.

Gue sudah merencanakan beberapa perubahan untuk tahun depan. Perubahan yang bisa dibilang cukup drastis. Banting setir istilahnya. Mungkin akan mengejutkan beberapa orang. Tapi ya bagaimana lagi. Perubahan harus dilakukan untuk memperbaiki sesuatu bukan?

Beberapa perubahan kecil telah gue lakukan di tahun ini.
Banyak yang gue pelajari dari semua perjalanan itu.

Tahun ini gue belajar untuk mencintai apa yang seharusnya dicintai.
Tahun ini gue belajar kalau setinggi apa pun derajat orang itu, dia hanya manusia yang sama-sama makan nasi.
Tahun ini gue belajar kalau semua orang mempunyai sama-sama mempunyai 24 jam 7 hari seminggu.
Tahun ini gue belajar kalau kita bisa dibenci karena berusaha menjadi baik.
Tahun ini gue belajar untuk hanya melakukan apa yang gue mau.
Tahun ini gue belajar kalau ternyata apa yang kulakukan dulu sangat salah.
Tahun ini gue belajar kalau manusia bisa salah.
Tahun ini gue belajar kalau persahabatan tidak terhitung waktu.
Tahun ini gue belajar kalau persahabatan berlandaskan visi yang sama, lebih indah dari yang bukan.
Tahun ini gue belajar kalau kesempatan selalu ada di luar sana.
Tahun ini gue belajar untuk tidak memperdulikan yang menurut gue tidak penting.
Tahun ini gue belajar kalau ternyata gue tidak salah untuk meresahkan apa yang selama ini gue pendam.
Tahun ini gue belajar apa itu arti belajar yang sesungguhnya.
Tahun ini gue belajar kalau orang yang selama ini gue hindari sebenarnya adalah orang yang seharusnya gue dekati.
Tahun ini gue belajar kalau belajar tidak harus di instansi belajar.
Tahun ini gue belajar kalau cinta yang tulus tidak perlu kita capek-capek perjuangkan.
Tahun ini gue belajar kalau tidak selamanya mereka yang mendukungmu di depanmu, juga sama di belakangmu.
Tahun ini gue belajar kalau tidak apa-apa untuk menjadi beda.
Tahun ini gue belajar kalau sebenarnya juga tidak apa-apa untuk menjadi sama seperti yang lain.
Tahun ini gue belajar untuk mengetahui arti kata tenang yang sebenarnya.
Tahun ini gue belajar kalau kesederhanaan akan membuahkan sesuatu yang lebih bahagia.
Tahun ini gue belajar kalau ternyata ada orang di luar sana yang mau menerima kita apa adanya.
Tahun ini gue belajar kalau berdagang tidak melulu soal untung.
Tahun ini gue belajar kalau yang dulu menghiburku, tidak lagi bisa menghiburku sekarang.
Tahun ini gue belajar kalau hidup terlalu singkat untuk terus melakukan apa yang biasanya ku lakukan dulu.
Tahun ini gue belajar kalau kita hanya terpisahkan oleh satu sapaan saja.
Tahun ini gue belajar untuk tidak terlalu berusaha memperjuangkan apa yang tidak pasti.
Tahun ini gue belajar untuk menerima kenyataan pahit dan tidak lagi pura-pura tidak tahu.
Tahun ini gue belajar kalau ternyata umur tidak selamanya.
Tahun ini gue belajar apa tujuan kita lahir di bumi ini.

Tahun depan akan makin banyak lagi yang akan ku pelajari. Tentunya tidak akan gampang memperoleh semua itu. Karena ini semua tentang proses.

And you haven't seen anything about me.

Bismillah.

Wassalamualaikum wr wb.

30/12/17

(sebenernya masih kurang sehari, besok gue belajar apa ya?)


Friday, December 29, 2017

Jadi Begini Cara Bikin Film Layar Lebar...

Banyak yang kepo tentang cerita gimana gue bisa ikut dalam produksi film layar lebar di usia yang cukup dini tanpa bantuan kampus (19 tahun, baru selesai semester 2) bahkan ada juga yang memuja muji, padahal sebenarnya di balik itu terdapat prosesi yang biasa-biasa saja.

Dan yang namanya jodoh ya nggak kemana.

Bermulai dari waktu bulan ramadhan, bulan ramadhan tahun ini bisa dibilang sangat turning point di hidup gue karena beda dengan sebelum-sebelumnya, tahun ini bener-bener tahun tobat gue lah istilahnya dari yang dulu amburadul kayak gimana. Banyak malam-malam gue habiskan untuk berdoa, apa lagi bulan itu gue juga lagi dihadapi ujian yang cukup bikin gue mumet sampe bisa bikin nangis waktu sholat. Pada bulan suci lah itu gue menyerahkan semuanya ke Allah SWT. Sabar aja karena gue percaya janji Allah. Dan lo harus juga.

Tibalah di penghujung ramadhan. Waktu tarawih, memang sempat di umumin kalau bakal ada talk show film 212 The Power of Love. Gue yang memang lagi nyari film yang islami, ya dateng dong ke acara itu. Cuma untuk nonton, gak ada niatan untuk ikutan. Akhirnya datanglah Mas Jastis, Bang Oji dan Ust. Erik Yusuf. Waktu itu gue nggak keliatan banget mukanya, soalnya shaf perempuan kan di belakang. Mereka memperkenalkan diri awalnya, bagus deh soalnya gue juga nggak tau mereka siapa. Kecuali Bang Oji, gue sempet nonton filmnya yang Mengejar Matahari, dan disitu dia serem haha. Mas Jastis kenalin dirinya, ternyata dia jagoannya film doku, pantesan gue nggak tau haha. Dan dia bilang, kalau selama ini dia main di doku karena takut main di fiksi yang tanggung jawab moralnya besar. Bikin film islami juga sekarang harus hati-hati, itu film tulus apa nyari cuan? Dan dengan penjelas Mas Jastis itu lah yang membuat gue tergugah, karena apa yang dia bicarakan, persis seperti apa yang selama ini gue pikirkan. Kita satu visi.

Itu yang membuat gue pengen ikutan. Tapi disitu gue sadar diri, gue masih bocah, ya kali bisa ikutan film gede gitu. Alhasil gue langsung pulang selepas acara. Padahal biasanya kalo acara gini gue bakal nyari orangnya dan minta nomer telefonnya.

Oya, mereka juga minta sumbangan dana karena film ini adalah film crowd funding atau dalam masalah ini, waqaf. Ya memang membuat film itu tidak murah. Selain doa, dukungan seperti ini yang akan sangat membantu. Tapi aku bisa apa untuk berdonasi...


Untuk beberapa waktu, gue meninggalkan ide itu.

Tapi gue berpikir, kalau aku tidak bisa berdonasi dalam bentuk uang, mungkin aku bisa berdonasi dalam bentuk tenagaku.

Dan akhirnya, tanggal 5 Juli, sehari sebelum syuting film pendek yang gue produserin. Dengan sok taunya, gue kontak Mas Jastis langsung. Iya gue nggak dapet nomer telefonnya. Tapi jaman sekarang udah bukan nomer HP atau email lagi. Tapi DM INSTAGRAM.

Ya, gue nge dm mas jastis. Untung ga di protect.

Dalam satu pesan itu, gue menjelaskan tentang kesamaan visi misi kita, dan keinginan gue untuk bisa ikut membantu mereka.

Itu juga nggak langsung di bales. Malah si doi update timeline tapi ga bales dm. Akhirnya gue comment aja di postingannya untuk ngecek DM gue, eh beneran di cek lho haha.

Akhirnya di bales dan minta dikirim CV. Terus udah. Lama ga dapet balesan. Dan tiba-tiba...

Tanggal 31 Juli, di suruh dateng ke kantornya jam 12.00 dan interview.

Dan itu situasinya gue baru bangun tidur abis berenang pagi-pagi. Oh itu juga baru banget mulai libur semester 2 :')

Reaksi pas dapet DM gitu gue langsung kaget dan excited banget tentunya. Tapi nggak mungkin banget waktu itu untuk gue bisa kesana. Akhirnya gue ngabarin dan minta di re-schedule.

Janjian besoknya, tapi pas udah otw doi bilang ternyata mereka lagi pergi dan di kantor gada orang. Untung masih di Cibubur.

Re-schedule lagi. Tapi nggak dibales-bales. Disitu gue agak lose hope. Dan akhirnya gue bilang ke dia, nanti kalo ga sibuk aja ketemu gue. Eh ternyata dia gabales-bales karena dia sibuk. Terus akhirnya jadi deh ketemuan siang itu. Dengan ditemani mama, gue menuju Warna Pictures.

Pas pertama kali dateng gue nervous bgt dan bener-bener jaga image. (Pasti beda banget sama sekarang ya HAHA) Malu bgt inget-inget lagiiii haha. Tapi ya pokoknya mulai disitu lah gue pertama kali dipanggil Puri. Gue nggak enak mau ngoreksi. Jadi gue iya-iyain aja walaupun belom ngerasa terlalu familiar. Ya mungkin ini bisa jadi "citra" gue yang baru.

Yang gue inget adalah waktu gue ditanya,

"Puri mau bantu kita untuk apa nih? Magang buat kampus?"

"Eh, nggak, pengen aja ikutan..."

"Emang yang kamu incer apa?"

"Eh, itu, em, lingkungannya... Karena saya ingin bertemu dengan orang-orang yang satu visi dengan saya."

"Oh oke. Kita syuting di Ciamis ya seminggu, berangkat hari Minggu."

"Hmm oke... Aku ijin mama dulu ya."

"Oke. Kalo mama ga ngijinin kita juga ga ngijinin ya."

"Oke!"

Dan gue pulang dari kantor mereka. Mama izinin kalo Papa izinin. Gue nervous selama perjalanan pulang. Karena tiba-tiba aja gue diajak pergi keluar kota selama seminggu sama orang-orang yang bahkan gue nggak kenal. Gue juga agak takut sih. Tapi there's something that made me feel safe somehow.

Dan alhamdulillahnyaaa Papa dengan santainya ngizinin.

Dan disitulah dimulainya pengalaman syuting layar lebar ku yang pertama!

:)

29/12/2017

Wednesday, November 8, 2017

NUTS! (Walnut Story)

Film ini merupakan tugas Bahasa Inggris, waktu tema yang Ms Acid berikan adalah "kenangan masa SMA" karena kita waktu itu sudah di tahun terakhir kami. Gue tau pasti yang lain memikirkan kalau membuat film yang akan mengenang, tapi ketika semua orang melihat ke belakang, gue melihat ke depan.

Cerita Nuts gue dapat ketika gue baru bangun tidur subuh-subuh, entah bagaimana tiba-tiba terngiang di otak gue "Seorang remaja SMA yang mau cepat-cepat lulus tapi ternyata dia belum siap dan malah rindu SMA." Inspirasi cerita ini juga gue dapat karena banyak temen sekelas yang jenuh belajar dan bilang "Gasabar kuliah, bisa bebas!" yang hampir gue dengar setiap hari. Gue pun, merasa seperti itu.

Tapi gue tau, kita selamanya akan merasa seperti itu, apalagi kalau kita tidak bersyukur dengan keadaan kita sekarang. Selalu menginginkan yang nanti.

Rio, tokoh di film ini, gue buat untuk mewakilkan semua anak SMA yang merasa seperti itu, tapi disini gue membuat bagaimana kalau keinginan dia terwujud? Tiba-tiba ada seorang "dukun" yang menawarkan untuk mengabulkan permintaannya. Konflik-konflik dia di masa kuliah gue buat dengan ke-sok-tahuan gue, karena toh di masa itu, gue gatau apa-apa tentang kuliah. Yang gue tau cuma dosen pasti tidak akan sepeduli dengan kita seperti guru, dan pergaulannya pun akan lebih "bebas".  Pada akhirnya Rio merasa dia belum siap untuk kehidupan kuliah, dan ia berharap ia bisa menikmati waktunya dulu. Tidak terburu-buru ingin lulus. Tapi, karena dia sangat ingin menginginkannya... sampe kebawa mimpi. Ternyata, itu semua hanya mimpi, dan dia bangun dan makin menghargai waktunya sekarang. (Plot twist endingnya ketika ternyata si dukun ternyata ada, jadi apakah dia benar-benar hanya mimpi? Atau bukan?)

Anehnya, ketika gue sekarang sudah kuliah. Apa yang terjadi pada Rio, gue merasakannya. Sedihnya, ini bukan mimpi dan bukan ulah penyihir. Tapi, ada sepenggal dialog gue buat dulu, untuk gue sekarang. Yaitu: "How many times you missed them, or wanting to go back, its never going to happen. Life goes on, that's how it works."

Dan itu membuat gue sadar kembali.

Film ini gue dedikasikan untuk kalian yang suka merasa "pengen cepet-cepet" supaya kita selalu bersyukur setiap harinya dan tidak terburu-buru. Yang kita punya adalah masa sekarang, bukan masa lalu ataupun masa depan.

Film ini menjadi film yang ternyata sangat berarti buat gue. Bisa dibilang gue merasa puas. Dan gue pengen lagi membuat film yang bisa menyentil diri gue sendiri.

Dan film ini lahir tanpa disengaja.

Cibubur,

9 November 2017

Rindu untuk Berkarya.

Kemarin gue nontonin film-film yang pernah gue buat, tujuannya untuk mengembalikan motivasi gue, gue tau itu satu-satunya cara yang ampuh, karena pasti setelah menonton film-film lama gue, gue akan teringat lagi betapa senangnya gue melakukan itu, dan betapa bahagianya ketika gue melihat hasil akhirnya.

Misteri Penghapus Sapi, Hadiah untuk Sarah, Nuts (Walnut Story), bahkan dokumenter Kulanta Damarudira.

Awalnya aku tidak mau menonton mereka kembali, karena aku tidak mau terlalu bangga dengan yang aku buat. Tapi rasanya aku tidak bisa menemukan motivasiku kembali bukan karena mereka.

Aku melihat kemampuan ku yang tersembunyi ketika aku menontonnya lagi, kemampuan yang tak kusangka ada. Bahkan sekarang ketika aku sudah menjadi mahasiswa film, aku kagum kepadaku sendiri untuk bisa men-direct seperti itu, padahal aku belum tahu apa-apa tentang film.

Tapi kenapa sekarang, aku malah merasa tidak mampu?

Sekarang aku sudah semester 3, banyak yang aku pelajari tentang bagaimana cara membuat film yang baik dan benar. Dari skrip sampai editing.

Dulu aku melakukannya dengan sangat amatir, tapi aku puas dengan hasilnya. Apakah itu salah?

Aku rindu ketika aku bisa saja membuat film dari skrip yang tidak berbentuk skrip,
Aku rindu ketika aku bisa langsung menyalakan kamera dan mengatur aktorku tanpa harus menyiapkan apa-apa,
Aku rindu ketika aku bisa membuat cerita apa saja yang aku mau,
Aku rindu bisa berkarya dengan bebas.

Apakah ilmu-ilmu yang kudapat malah membatasi ku dalam berkarya?
Dan hanya membuatku merasa "Oh bikin film kayak gini ya ternyata, susah juga..."
Padahal dulu "Bikin film cuma seminggu gampang euy!"

AKU RINDU.

AKU INGIN BERKARYA.

SIAPA KAMU (ATURAN-ATURAN) UNTUK MELARANG KU?

YANG AKU MAU HANYA MEMBUAT FILM DENGAN CERITA YANG BAGUS

AKU TIDAK PERLU KAMERA CANGGIH

AKU TIDAK PERLU SKRIP YANG DETAIL

AKU TIDAK PERLU PROPERTI YANG MEWAH

AKU HANYA INGIN BERCERITA!

AKU HANYA INGIN MELIHAT KEMAMPUANKU YANG TERSEMBUNYI TANPA PERLU AKU PAKSA DIA UNTUK MUNCUL

YA MUNGKIN KAMU BISA BILANG AKU BODOH,

MUNGKIN KAMU BISA BILANG AKU MALAS,

TAPI AKU SENANG MEMBUAT FILM BIASA-BIASA SAJA ASALKAN PESANKU TERSAMPAIKAN.

YANG AKU MAU ADALAH: CREW KECIL YANG INTIM DAN CAST YANG TIDAK MANJA.

AKU MASIH MAU MEMBUAT FILM DENGAN BAHAGIA.

AKU TIDAK MAU MEMBUAT FILM YANG BAGUS TAPI TIMNYA TIDAK AKUR.

LAGIAN, TIDAK ADA TOLAK UKUR SENDIRI UNTUK FILM BAGUS.

AKU TIDAK MAU MEMBATASI KE KREATIFITAS-AN KU.

AKU INGIN TERUS BERKARYAAAA!!!!!!!!!!!!!