Sunday, January 25, 2015

"Terima kasih, Takdir."

aku memerhatikannya dari jauh. jauh yang berjarak 1 meter saja, namun hubungan kami masih bersebrangan, aku di jalanku dan dia di jalannya. aku sempat berpikir "apakah suatu saat aku akan menjadi miliknya?" juga saat ia sedang bermain dengan teman perempuannya ketika aku merasa sedikit cemburu, aku membatin "apakah suatu saat kecemburuanku akan ia perdulikan?" ah aku tidak bisa menebak masa depan, tapi ini bolehkah aku berharap? ia selalu melakukan hal yang sama, ketika aku memerhatikan dari balik lehernya, mendengarkan senandungnya yang lebih merdu dari burung gereja berokestra. namun ia seperti memeliki mata ketiganya dan selalu sadar. ia menoleh kepadaku, dan tersenyum. beberapa waktu lalu, senyum itu tak kan berarti apa-apa untukku, senyum itu hanya berarti buat perempuan lain yang bukan aku, dan dulu aku juga tidak pernah mengharapkan apa-apa darinya.
kini, setiap pagi ketika aku tersadarkan oleh matahari. senyumnya yang selalu aku lihat, bahkan saat aku menutup mata. senyumnya tidak pernah lepas dari ujung mataku. tapi ini tidak cukup, aku ingin melihatnya langsung, melihat keceriaannya yang selalu menular kepadaku, matanya yang seakan berkata bahwa senyum itu hanya milik aku seorang sekarang. senyum yang tak akan aku berikan kepada perempuan siapapun di dunia ini, kecuali ibu dan adiknya. senyum yang akan selalu berkunang-kunang, senyum yang akan selalu membekas.
sekarang, jarak kami hanya 1 senti, di jalan yang sama. aku masih sering mencuri-curi pandang dari balik lehernya. dan tegangan ini sama seperti yang aku rasakan beberapa tahun lalu. bahkan lebih dalam lagi.

"sekarang ia milikmu, kamu bebas untuk cemburu padanya"
jawab sang takdir memberitahukan hatiku.
"baiklah... terimakasih, takdir."

No comments:

Post a Comment