CHAPTER 2:
43 jam 28 menit 15 detik sebelumnya.
Rumahku dan rumah Pakde Ferry berjarak 3 jam menggunakan mobil, sehingga aku bisa sampai lebih cepat 1 jam karena tidak perlu mengikuti antrian mobil menunggu macet yang tiada hentinya. Walaupun sebenernya aku belum tahu apa rencanaku selanjutnya ketika aku sampai ke rumah Pakde, alangkah indahnya jika keadaan sudah mereda seperti misalnya para debt collector itu sudah membiarkan kami hidup. Andai saja ada segepok uang terjatuh dari langit, yang pertama yang akan aku lakukan adalah menjajani aku dan adikku sebatang es krim dahulu, baru dengan tidak sudi membayar hutang kotor monster-monster berkostum manusia itu.
Setelah bertarung melawan debu dan polusi jalanan selama beberapa jam, akhirnya aku sampai ke dalam kompleks perumahan. Dan setelah aku menemukan alamat yang kutuju, aku memakirkan motorku di depan garasi rumah biru tingkat 2 tersebut. Rumah yang sangat menarik dan besar, beda sekali dengan rumah keluargaku yang mungil dan sederhana. Aku belum merasa tenang walaupun aku sudah berada di depan pintu kediaman tersebut, masih terus memikirkan keadaan 2 anggota keluargaku yang terancam. Aku menghela nafas, dan mengetuk pintu kayu itu.
"Permisi, selamat malam." ujarku mengaharapkan balasan dari dalam. 2 detik, 3 detik. Tidak ada jawaban.
"Halo, pak de!" teriakku kini lebih kencang lagi diiringi dengan ketukan yang beruntun.
Namun sunyi, tidak bersuara. Percuma juga aku memutar gagang pintunya, karena tidak akan berpengaruh sama sekali, pintu ini terkunci. Dan tidak ada orang di dalam.
Aku memutar ke arah jendela kamar, aku mengintip dan hanya terlihat ruang kamar seperti biasa, dan masih tanpa tanda-tanda kehidupan. Aku mulai mengitari sekeliling rumah itu, mencoba membuka setiap pintu, dan mengintip masuk dari jendela. Namun semuanya kosong dan hampa... Perasaanku mulai tidak enak.
Setahuku, Pakde punya istri dan 3 anak lelaki yang tidak jauh beda dengan umur Alvin. Kemana mereka pergi dan apakah Alvin ada bersama mereka? Lagipula ini sudah jam 10 malam. Pergi kemana keluarga ini? Pasar malam? Aku meragukannya karena anak-anak seumuran Alvin jarang sekali bisa bangun sampai selarut ini. Dugaanku benar, ada yang tidak beres.
Aku ingin menerobos masuk dengan memecahkan kaca, tapi aku khawatir dengan kerugian yang akan menimpa Pakde Ferry. Apa mungkin aku salah alamat? Aku keluar dari area rumah tersebut dan berjalan di seputar gang perumahan itu. Rumah-rumah lainnya terlihat sama dan seragam. Yang membuka kemungkinan kalau aku memang bisa saja salah rumah.
Disaat aku melewati rumah dengan bentuk rumah yang sama seperti apa yang kukira adalah rumah Pakde, yang membedakannya hanya rumah ini berwarna merah jambu. Ada seorang wanita paruh baya yang melihatku dari jendela dapur, ia seperti mengenaliku dan menghampiriku.
"Neng Vita... ya?" tanya wanita dengan postur badan yang tidak lebih tinggi dariku tetapi lebar badannya melibihi badanku. Cara bicaranya mengingatkanku pada ibu tetangga sebelah saat dia sedang menawar harga ikan di tukang sayur. Ia mengenakan baju merah muda serta rok dengan warna senada. Wow, ibu-ibu maniak pink. Sadar umur, bu. batinku.
"Ya saya Vita, ibu siapa ya?" tanyaku kembali dengan ragu. Aku tidak pernah melihat wajahnya sebelumnya, dan lagi aku juga belum pernah melihat istri dari Pakde Ferry. Mungkin ia lah orangnya?
"Oh saya, adik ipar Pakde Ferry," jawabnya. Berarti dia tante iparku, begitu? "Kamu pasti lagi cari rumah pakde kamu kan?"
"Ya... Betul sekali," aku memikirkan apakah wanita ini bisa aku percaya, akupun menanyakannya Alvin kepadanya, "Alvin lagi sama Pakde Ferry ya?"
"Oh si Bang Alvin! Iya si abang ada kok di sini. Ini rumah saya, kalau yang rumah biru eneng datengin tadi baru rumah pakde, tapi pakde sama tantenya lagi pergi ke warung beli gas habis. Bang Alvin dititipin ke saya dulu deh."
Aku masih sulit mempercayainya, tapi jika dia memang benar aku dapat bertemu dengan Alvin bukan? Kalau tidak... ya apalah aku tidak mengerti. Yang terpenting hanya adikku sekarang. Aku meminta sang ibu untuk mengantarku kepada adikku, dan ia pun mengiringku masuk.
Ibunya membukakan pintu untukku, disitu aku melihat Alvin sedang bermain mobil-mobilan entah milik siapa di atas karpet ruang tamu, aku merasa lega melihat wajahnya yang ingusan itu. Aku melambaikan tangan dan menyapanya, "Hei si bocah."
"Kakak!" ia membalas sapaanku dengan senyum yang lebar diwajahnya, mendengar adik laki-lakiku yang untunglah masih sehat dan bugar untuk mampu berteriak sungguh menenangkan hatiku. Sepanjang perjalanan aku membayangkan ia diikat oleh tali dengan mulutnya yang disumpal kaos kaki. Aku memang sering menonton film aksi yang tergolong sadis, sehingga salah satu adegan tersebut dapat meracuni otakku segampang itu.
Reaksi Alvin tidak berhenti sampai situ saja. Ia masih meneriakiku dengan wajahnya yang masih terkejut, "Kak Vita...?!"
"Iya tenang kakak udah ada di sini kok." aku menghampirinya dan memeluknya. Aku tidak menyangka ia akan setakut ini. Aku mengelus-elus rambutnya yang tipis di kepalanya yang mungil. Untuk sebentar saja aku ingin merasakan kehangatan ini.
Setidaknya, itu yang aku harapkan. Nyatanya, teriakan Alvin mempunyai arti lain yang aku tidak sadari karena sibuk dengan perasaan bertemu kembali dengannya. Muka Alvin makin terlihat panik dan takut, ia meneriakiku sekali lagi --
"KAKAK!! AWAAAAS!!"
-- Sebelum sesuatu mengayunkan kepalaku terbanting jatuh ke lantai.
Setelah bertarung melawan debu dan polusi jalanan selama beberapa jam, akhirnya aku sampai ke dalam kompleks perumahan. Dan setelah aku menemukan alamat yang kutuju, aku memakirkan motorku di depan garasi rumah biru tingkat 2 tersebut. Rumah yang sangat menarik dan besar, beda sekali dengan rumah keluargaku yang mungil dan sederhana. Aku belum merasa tenang walaupun aku sudah berada di depan pintu kediaman tersebut, masih terus memikirkan keadaan 2 anggota keluargaku yang terancam. Aku menghela nafas, dan mengetuk pintu kayu itu.
"Permisi, selamat malam." ujarku mengaharapkan balasan dari dalam. 2 detik, 3 detik. Tidak ada jawaban.
"Halo, pak de!" teriakku kini lebih kencang lagi diiringi dengan ketukan yang beruntun.
Namun sunyi, tidak bersuara. Percuma juga aku memutar gagang pintunya, karena tidak akan berpengaruh sama sekali, pintu ini terkunci. Dan tidak ada orang di dalam.
Aku memutar ke arah jendela kamar, aku mengintip dan hanya terlihat ruang kamar seperti biasa, dan masih tanpa tanda-tanda kehidupan. Aku mulai mengitari sekeliling rumah itu, mencoba membuka setiap pintu, dan mengintip masuk dari jendela. Namun semuanya kosong dan hampa... Perasaanku mulai tidak enak.
Setahuku, Pakde punya istri dan 3 anak lelaki yang tidak jauh beda dengan umur Alvin. Kemana mereka pergi dan apakah Alvin ada bersama mereka? Lagipula ini sudah jam 10 malam. Pergi kemana keluarga ini? Pasar malam? Aku meragukannya karena anak-anak seumuran Alvin jarang sekali bisa bangun sampai selarut ini. Dugaanku benar, ada yang tidak beres.
Aku ingin menerobos masuk dengan memecahkan kaca, tapi aku khawatir dengan kerugian yang akan menimpa Pakde Ferry. Apa mungkin aku salah alamat? Aku keluar dari area rumah tersebut dan berjalan di seputar gang perumahan itu. Rumah-rumah lainnya terlihat sama dan seragam. Yang membuka kemungkinan kalau aku memang bisa saja salah rumah.
Disaat aku melewati rumah dengan bentuk rumah yang sama seperti apa yang kukira adalah rumah Pakde, yang membedakannya hanya rumah ini berwarna merah jambu. Ada seorang wanita paruh baya yang melihatku dari jendela dapur, ia seperti mengenaliku dan menghampiriku.
"Neng Vita... ya?" tanya wanita dengan postur badan yang tidak lebih tinggi dariku tetapi lebar badannya melibihi badanku. Cara bicaranya mengingatkanku pada ibu tetangga sebelah saat dia sedang menawar harga ikan di tukang sayur. Ia mengenakan baju merah muda serta rok dengan warna senada. Wow, ibu-ibu maniak pink. Sadar umur, bu. batinku.
"Ya saya Vita, ibu siapa ya?" tanyaku kembali dengan ragu. Aku tidak pernah melihat wajahnya sebelumnya, dan lagi aku juga belum pernah melihat istri dari Pakde Ferry. Mungkin ia lah orangnya?
"Oh saya, adik ipar Pakde Ferry," jawabnya. Berarti dia tante iparku, begitu? "Kamu pasti lagi cari rumah pakde kamu kan?"
"Ya... Betul sekali," aku memikirkan apakah wanita ini bisa aku percaya, akupun menanyakannya Alvin kepadanya, "Alvin lagi sama Pakde Ferry ya?"
"Oh si Bang Alvin! Iya si abang ada kok di sini. Ini rumah saya, kalau yang rumah biru eneng datengin tadi baru rumah pakde, tapi pakde sama tantenya lagi pergi ke warung beli gas habis. Bang Alvin dititipin ke saya dulu deh."
Aku masih sulit mempercayainya, tapi jika dia memang benar aku dapat bertemu dengan Alvin bukan? Kalau tidak... ya apalah aku tidak mengerti. Yang terpenting hanya adikku sekarang. Aku meminta sang ibu untuk mengantarku kepada adikku, dan ia pun mengiringku masuk.
Ibunya membukakan pintu untukku, disitu aku melihat Alvin sedang bermain mobil-mobilan entah milik siapa di atas karpet ruang tamu, aku merasa lega melihat wajahnya yang ingusan itu. Aku melambaikan tangan dan menyapanya, "Hei si bocah."
"Kakak!" ia membalas sapaanku dengan senyum yang lebar diwajahnya, mendengar adik laki-lakiku yang untunglah masih sehat dan bugar untuk mampu berteriak sungguh menenangkan hatiku. Sepanjang perjalanan aku membayangkan ia diikat oleh tali dengan mulutnya yang disumpal kaos kaki. Aku memang sering menonton film aksi yang tergolong sadis, sehingga salah satu adegan tersebut dapat meracuni otakku segampang itu.
Reaksi Alvin tidak berhenti sampai situ saja. Ia masih meneriakiku dengan wajahnya yang masih terkejut, "Kak Vita...?!"
"Iya tenang kakak udah ada di sini kok." aku menghampirinya dan memeluknya. Aku tidak menyangka ia akan setakut ini. Aku mengelus-elus rambutnya yang tipis di kepalanya yang mungil. Untuk sebentar saja aku ingin merasakan kehangatan ini.
Setidaknya, itu yang aku harapkan. Nyatanya, teriakan Alvin mempunyai arti lain yang aku tidak sadari karena sibuk dengan perasaan bertemu kembali dengannya. Muka Alvin makin terlihat panik dan takut, ia meneriakiku sekali lagi --
"KAKAK!! AWAAAAS!!"
-- Sebelum sesuatu mengayunkan kepalaku terbanting jatuh ke lantai.
To Be Continued
No comments:
Post a Comment