Wednesday, December 30, 2015

Chaotic Ice Skating

Pada suatu hari, atau kemaren, gue baru aja ice skating sama temen-temen tercinta dan tersampis. Yaitu: Celi, Semok dan Mudi. Mereka emang udah pengen ice skating dari lama, gue awalnya sempet gamau karena semua orang lagi kesana dan gue juga gabisa ice skating, terakhir belajar sekali pas SD doang, jadi ngapain gue buang-buang uang buat something yang cuma bakal bikin gue sakit gara-gara jatoh di batu es. Tapi sekali lagi, cinta gue kepada teman-teman sangat besar melebihi cinta tikus kepada keju. Akhirnya, guepun ikut.

Di mobil, gue bertanya kepada Celi.

"Lo emang udah pernah ice skating Cel?"

"Hmmm sekali doang sih pas SMP."

"Terus, sekarang masih bisa?"

"Nggak, gue udah lupa."

....Oke.

Lalu gue berpaling kepada Semok.

"Kalo lo, Sem?"

"Belom pernah sama sekali."

Hmmhmmhmm...

Gue menanyakan hal yang sama kepada Mudi, dan jawabannya pun sama.

Untuk sesaat gue lebih percaya diri, ya setidaknya bukan cuma gue doang yang gabisa. Ekspetasi gue adalah: gue dan ketiga teman-teman gue yang gabisa semua, jalannya sambil berpegangan tangan semua sampai membentuk lingkaran. Hahaha, lucu juga. Guepun, semakin semangat untuk ice skating.

Setelah sampai di Mall Taman Anggrek, makan siang, dan mengantri selama mungkin 30 menit (baca: ngetawain orang-orang berjatuhan yang lagi main di rink dari luar).

Di aturannya gue melihat kalau 2 jam itu sudah terhitung dari waktu karcis sudah dibeli, sampai meminjam sepatu, merapihkan loker, lalu masuk dan keluar lagi.

"Waduh, kita berarti nggak bisa buang-buang waktu nih nanti bisa rugi! Kalo 85 ribu per 2 jam, berarti 1 jamnya...42.500* Berarti setiap menitnya... 7 ribu!* Ayo guys, jangan sampe uang kita terbuang cuma buat bengong ya nanti!" kata gue dengan semangat.

(*setelah gue coba hitung dikalkulator, hasilnya bukan segitu)

Akhirnya kita berempat memesan karcis dan meminjam sepatu. Setelah semuanya sudah siap. Saatnya meluncur.

(Sebenarnya gue sangat malu untuk mengingat hal ini, tapi urat malu gue sudah kabur keujung dunia, jadi yasudahlah.)

Gue memasuki rink, dengan keadaan sangat licin serta kagok...

Dan dalam langkah pertama saja, gue sudah kepeleset.

Oya gue belom bilang, perlu diketahui, sky rink di MTA pada hari libur sekolah, ramenya minta ampun. Jadi bayangin aja ada berapa banyak orang yang keluar masuk, mengatri-ngantri giliran sambil berdesak-desak, dengan menggunakan sepatu besi.

Disaat gue kepeleset, gue reflek memegang orang, dan karena temen-temen gue masih jauh, yang berhasil tertangkap adalah anak laki-laki kecil yang entah siapa dia nggak kenal soalnya belum kenalan. Gue kaget namun gue juga panik. Adik tersebut sepertinya enggan dipegang oleh gue, lalu dia melepas tangan gue darinya dengan semangat. Sesaat, hati gue terluka. Tapi untung Mudi langsung mengulurkan tangannya untuk membantu gue berdiri.

Gue sama Mudi berjalan pegangan sangat hati-hati, gue mencari-cari kemana perginya sampis-sampis lainnya, ah paling mereka kayak gue juga. Lalu akhirnya gue menemukan mereka, berseluncur dengan sangat cantik ditengah rink...

"WOY! Mana katanya nggak bisa!" teriak gue pada mereka setelah akhirnya kita berkumpul.

"Kan belajar, Ca." jawab mereka.

Dan memang benar, mereka memperhatikan setiap orang yang lewat dan meniru gaya skatingnya. Gue merasa cupu, gue ikut juga pengen kayak mereka. Gue bertekad untuk bisa! Gue gak mau kalah sama bocah yang bisa ngebut berseluncur dan sampe bisa muter-muter diudara. Kalo dia bisa, kenapa gue nggak? Apa yang membedakan gue sama dia, kita sama-sama makan nasi kok! Ah, emang sesusah apasih...

.....

Setelah jatoh hampir setiap saat gue jalan (atau bahkan waktu berdiri doang)
Gue sadar, anak kecil yang bisa muter-muter itu makannya bukan cuma nasi, tapi juga waktu yang dia habiskan buat latian terus menerus. Dan gue yakin hari pertama dia latian pasti juga sama kayak gue sekarang. Yasudahlah, kapan-kapan aja gue bisanya... Dan dengan segampang itu, gue menyerah.

"Mana Ca, katanya gamau 85.000 terbuang cuma buat berdiri di es doang" kata salah satu sampis.

"Berisik lu..."

Akhirnya dalam waktu yang tersisa, gue selalu pegangan tangan ke sampis-sampis yang sudah tidak terlalu sampis itu. Merekapun dengan sabar bergilir ngawasin gue.

Setiap kali gue jatoh, pasti dengan posisi terabsurd yang bisa dilakukan oleh seorang manusia. Untungnya gue sudah lama hilang kepedulian dengan image gue. Dan gue lebih peduli dengan nasib tulang-tulang gue yang harus bertatap muka dengan batok es dibawah ini.

Ketika gue sudah siap-siap pasrah pengen diseret aja, tiba-tiba ada pengumuman kalau es mau dilapisin lagi, jadi semua pengunjung harus keluar dulu dan menunggu...

"Yaahh... Padahal masih pengen lagi." kata gue. Maksud dibalik itu: "Akhirnya, daritadi kek pantat gue udah memar tauk."

Kita semua pulang dengan sangat capek, tapi juga dengan pengalaman yang lumayan seru. Waktu bersama teman mau sesakit dan sememalukan apapun itu, selalu waktu yang seru.

"Hhhh capek ya, tapi seru." kata gue kepada Celi yang sedang menyetir ketika sudah dekat dengan rumah gue.

"Iya, seru gue ngeliatin lu jatoh-jatoh gak jelas." balasnya, dan gue hanya bisa terdiam malu.

Terimakasih sudah membaca, sekarang gue sedang tergeletak di tempat tidur tidak mampu ngapa-ngapain lagi. Bahkan ngeflush toilet aja perlu tenaga yang cukup kuat. Dan lagi dengan tulang seperti ini, gue tetep harus latian nyetir. Oh that reminds me, that's a funny story too, I'll get to that later.

A.R.S.P
4:39 PM
2 hari sebelum taun baru.

No comments:

Post a Comment