Jarum berdetik. Tik. Tik. Tik. Detik demi detik seakan mereka menghantuiku, seakan
mencoba berkata bahwa detik-detik yang telah berlalu akan mustahil untuk
kembali. Tetapi akan selalu ada detik baru menunggu kita untuk beraksi,
menemukan sesuatu atau mungkin menyelamatkan dunia. Tunggu, selalu ada? Maaf,
aku bersikap terlalu naive, apa yang kita tahu dengan 'selamanya'? Jika kau
mengalami apa yang aku alami, aku yakin kalian tidak akan percaya lagi dengan
kata yang tidak mempunyai arti bermakna itu. Ironisnya aku tidak akan pernah
lepas darinya, dari namaku saja, Vitani Memoir, kenangan selamanya.
Aku menghargai namaku, seperti aku menghargai sosok yang memberikannya padaku. Sangat menghargainya. Dan pada akhirnya
aku bertemu lagi dengan secarik perasaan yang membuatku merubah pandanganku.
Aku ada disebuah ruangan kecil, mungkin ruangan
yang dulunya adalah ruangan bayi, cat di tembok sudah terlalu tua sehingga
penuh jamur dan mengelupas, aku duduk dilantai yang dingin tanpa alas, dingin
serasa menembus celana jinsku, jaket tuaku yang sudah robek-robek ini juga sudah
tidak berfungsi apa-apa. Ruangan terasa sangat gelap meskipun ada 2 lampu
berdiri menyala, ruangan ini sangat sepi, tidak ada apa-apa kecuali benda itu
yang ada dihadapanku. Aku sedang bertatap muka dengan suatu benda yang tak
kunjung berhenti berdetik tapi akan datang dimana waktunya dia akan diam, dan
akan diikuti oleh detak jantungku.
Lucu bahwa beberapa hari yang lalu, kau bisa
tertawa menonton tv dengan keluarga kecilmu, menikmati setiap momen sekecil apapun
bersama, dan tanpa kau tahu, bam, kau sedang menunggu sisa-sisa
hidupmu yang sebagian besar kau habiskan untuk menghidupi ibu dan adikmu,
akan berakhir begitu saja beberapa saat lagi. Hingga saja semua yang terjadi
pada malam itu tidak terjadi, pada malam itu ….
CHAPTER 1:
48 jam 35 menit 12 detik sebelum bom meledak.
"Vit, lo nggak kemana-mana taun baru?"
tanya Dessy sambil mencuci piring-piring kotor bekas konsumsi pelanggan. Dessy
adalah rekan kerjaku di restoran wisata, Puncak, Cisarua. Aku dan keluargaku tinggal
di kota yang sangat padat yang selalu dikunjungi keluarga untuk berlibur, kami
tinggal di wilayah terpencil dan kumuh, keluarga kami tergolong sederhana
tetapi masih membutuhkan banyak dana lagi, sehingga aku kerja paruh waktu di
restoran ini. "Gue bosen nih, masa di sini aja taun baruan."
"Yaa kalo gue sih suka-suka aja disini, toh
gue udah menghabiskan 25 kali taun baruan di sini dan nggak bosen-bosen
tuh," jawabku dengan serius seiringan dengan melap piring-piring yang
basah habis dari cucian Dessy, "Gada yang lebih nyaman dari rumah
sendiri."
"Seandainya lo punya kesempatan buat pergi
ke tempat lain gitu, lo masih mending disini gitu?" tanyanya lagi dengan
raut wajah bingung sambil mengarahkan spons cuci piringnya
padaku.
"Mungkin gue mau, tapi galama-lama. Ntar
siapa yang jagain nyokap sama adek gue?" dengan sikap realistisku, aku
menjawab.
"Susah emang ya jadi kepala keluarga,"
cibir Dessy. Aku hanya membalas dengan tawa sinis, aku tidak sepenuhnya marah
karena apa yang dikatakannya memang benar.
Aku hidup dengan ibuku dan satu adik laki-lakiku
yang masih berumur 12 tahun. Keluarga kecil kami mempunyai hubungan yang sangat
dekat, ibuku walaupun sudah termasuk paruh baya, masih kuat untuk menafkahi
kami waktu aku belum mampu untuk melamar kerja apapun. Aku masih sangat kecil
saat aku menyaksikan kerja keras ibuku, tapi tidak terlalu kecil untuk
merasakan kasih sayang yang ia sampaikan. Sekarang aku hanya ingin membuat
ibuku bahagia dan nyaman bagaimanapun caranya.
"Vita, Dessy," ibu restoran memanggil
kami dari pintu dapur, "Ini bonus kalian buat taun baruan, hari ini hari
terakhir kerja kalian, kalian libur sampai minggu depan." ibu itu menaruh
2 amplop di meja dapur dan memberikan senyuman, "Selamat tahun baru."
"Selamat tahun baru, Bu!" kami berdua
mengucapkan secara bersamaan dan mengambil amplop tersebut.
Setelah cucian selesai kamipun meninggalkan
restoran dan pulang dengan angkutan umum. Di tengah jalan aku mampir di
suatu jajanan pasar dan beli satu batang permen gulali berbentuk bola sepak
untuk adikku, Alvin. Ia memang suka sekali dengan gulali dan bola, aku sesekali
membelinya sepulang dari restoran, kadang untuk menghiburnya karena sudah aku
tinggal seharian, melihat tawanya yang lebar dan menunjukan giginya yang ompong,
bekerja seperti mantra untuk melepas semua capek dan pegal di punggungku dari
seharian kuliah dan bekerja.
Sekitar jam 8 malam aku tiba di kawasan rumah
dan mendengar suara yang sangat gaduh bahkan saat aku belum belok ke gang
rumah. Aku merasakan sesuatu yang tidak enak, permen gulali yang aku beli untuk
adikku terlihat retak dan hampir patah, kakiku membawaku ketempat kejadian
perkara sangat cepat, tanganku bergemetar dan keringat dingin bercucuran tiada
henti.
Kakiku akhirnya mencapai depan rumah dan
dihadapanku ada segerombolan penduduk rumah menyaksikan beberapa lelaki
berpakaian jas rapih dengan kacamata hitam, seperti aku sedang menyaksikan
film Men in Black secara langsung. Mereka sedang berdiri di
depan pintu seperti sedang menunggu seseorang.
"Ini ada apaan?" tanyaku kepada salah
satu warga.
“Itu mbak, mas-mas itu dari tadi teriak-teriak
ke rumah mbak, membuat lingkungan rumah jadi nggak nyaman.” Jawab sang warga.
Aku mendatangi mas-mas di depan rumahku yang ia maksud, bertanya hal yang sama,
tetapi mereka hanya melihatku tanpa ekspresi dan terdiam tidak menjawab. Aku
heran apa yang sebenarnya terjadi dan ibuku memanggil dari dalam.
“Vita, masuk cepat ke dalam!” aku segera membuka
daun pintu rumah yang kecil itu dan mencari arah suara itu, aku menemukannya duduk
terdiam dan kaku di ruang makan. “Mereka… penagih hutang ayahmu, nak.”
“Hutang? Bukankah kita sudah melunasi semuanya
beberapa tahun yang lalu? Waktu itu ibu dan aku berkerja sangat keras untuk
bisa hidup bebas dari hutang, kan?” aku mengingat-ingat, aku bahkan
mengundurkan waktu kuliahku selama 2 tahun agar bisa mencari kerja dan mendapat
penghasilan yang cukup hanya untuk hutang-hutang yang tidak berharga untuk
semua kerja keras kami. Kami banting tulang untuk bisa tinggal di rumah kecil
ini karena ini satu-satunya tempat tinggal yang kami miliki. Walaupun ibu
mempunyai adik yang tinggal di sekitar sini, ia masih memegang teguh bahwa
rumah tidak akan senyaman milik sendiri. Itu yang telah menjadi prinsip dasar
hidup kami semua dan menjadi pemicu untuk melunasi hutang ayah kami. Kita melakukan ini bukan karena kita
membiarkan ayahmu pergi, tetapi untuk menunjukan bahwa kita kuat dan bisa
bersatu tanpa kehadiran dia. Begitu kata ibu.
“Itu yang kita kira selama ini, nak…” ibu
berbicara sangat pelan, setiap kata-kata yang ucapkan terdengar sangat rapuh, “Ternyata
ayahmu mempunyai hutang lain yang kita tidak pernah tahu sebelumnya…”
“Kenapasih tu orang ngutang segampang metik
daun? Mending kalo dia sendiri yang ngelunasin, ini apa? Biarin istri dan 2 anak
yang ngebayar semuanya?” selama ini aku hidup seperti dibayang-bayangi dengan
semua kesalahan ayah. Aku bahkan ragu akan sudi memanggilanya sebagai ayahku
sendiri lagi.
“Masalahnya bukan itu, Vita…” ibuku membantahku
seakan ia membela ayah.
“Ibu juga masih bisa-bisanya aja belain ayah!
Pernah berjasa apa dia buat keluarga kita, bu?” aku menyerangnya dengan
kenyataan yang pahit yang harus aku katakan untuk menyadarkan ibuku.
“Masalahnya,” Ibu terdiam sejenak menarik dan
membuang nafas panjang, “Ayahmu menjadikan adikmu sebagai jaminan hutangnya.”
Dengan perkataanya yang singkat dan kuat, aku seperti sedang dihantam bola
penghancur tepat di perut, yang membuatku tersedak dan seketika sulit untuk
bernafas.
“Dimana… dimana Alvin sekarang, bu??” aku
bertanya dengan sangat gugup tanganku tidak bisa diam sehingga aku
menghancurkan permen gulali yang seharusnya untuknya.
“Ibu udah suruh Pade’ Ferry untuk menjemput
Alvin dari sekolah dan memintanya untuk menjaga Alvin selamanya yang ia bisa,”
meskipun ibu berkata demikian, kami tahu dalam hati terdalam bahwa semuanya
tidak segampang itu.
“KAMI
TIDAK AKAN PERGI SAMPAI ANAK ITU ADA DI TANGAN KAMI!!” teriak salah seorang
pria berjas yang kulihat didepan rumah tadi, “TIDAK PEDULI BERAPA LAMA KAU MENYEMBUNYIKANNYA,
KAMI AKAN SELALU MENEMUKANNYA!!”
Bulu
kuduk kami berdiri dan darah kami mendingin, aku tidak tahu harus bagaimana,
aku ingin menyelamatkan Alvin tapi itu berarti harus meninggalkan ibuku
sendirian di rumah dengan orang-orang itu yang akan terus menghantui rumah
kami, dan aku tidak berani untuk membiarkannya terjadi.
“Pergi,
Vita, selamatkan Alvin,” ibu berkata memecahkan ketegangan dan seakan membaca
pikiranku, “Ibu akan mengungsi ke rumah bibi sebelah.” Aku terdiam dan tidak
bisa membalas apa-apa, “Ibu sudah berpengalaman tentang semua ini, mereka bisa
merenggut semua harta kita, tapi ibu tidak akan biarkan mereka merampas nyawa
adikmu sebagai pengganti apapun.”
Aku tidak
menjawab, mencoba menahan air mataku yang akan jatuh.
“Ibu
ingin kamu pergi Vita… Ibu percaya akan kekuatan sayang sang kakak pada
adiknya,” suara ibu sudah mulai menenang, membuatku semakin tidak tega untuk
meninggalkannya, “Kita ketemu lagi taun depan, ya?”
Aku tidak
bisa menahan tangisku dan langsung memeluk ibu, “Iya ibu, kita ketemu taun
depan ya…”
To Be
Continued
Waiting for more.....
ReplyDelete