Thursday, January 1, 2015

Untitled.

Jarum berdetik. Tik. Tik. Tik. Detik demi detik seakan mereka menghantuiku, seakan mencoba berkata bahwa detik-detik yang telah berlalu akan mustahil untuk kembali. Tetapi akan selalu ada detik baru menunggu kita untuk beraksi, menemukan sesuatu atau mungkin menyelamatkan dunia. Tunggu, selalu ada? Maaf, aku bersikap terlalu naive, apa yang kita tahu dengan 'selamanya'? Jika kau mengalami apa yang aku alami, aku yakin kalian tidak akan percaya lagi dengan kata yang tidak mempunyai arti bermakna itu. Ironisnya aku tidak akan pernah lepas darinya, dari namaku saja, Vitani Memoir, kenangan selamanya. Aku menghargai namaku, seperti aku menghargai sosok yang memberikannya padaku. Sangat menghargainya. Dan pada akhirnya aku bertemu lagi dengan secarik perasaan yang membuatku merubah pandanganku. 

Aku ada disebuah ruangan kecil, mungkin ruangan yang dulunya adalah ruangan bayi, cat di tembok sudah terlalu tua sehingga penuh jamur dan mengelupas, aku duduk dilantai yang dingin tanpa alas, dingin serasa menembus celana jinsku, jaket tuaku yang sudah robek-robek ini juga sudah tidak berfungsi apa-apa. Ruangan terasa sangat gelap meskipun ada 2 lampu berdiri menyala, ruangan ini sangat sepi, tidak ada apa-apa kecuali benda itu yang ada dihadapanku. Aku sedang bertatap muka dengan suatu benda yang tak kunjung berhenti berdetik tapi akan datang dimana waktunya dia akan diam, dan akan diikuti oleh detak jantungku.

Lucu bahwa beberapa hari yang lalu, kau bisa tertawa menonton tv dengan keluarga kecilmu, menikmati setiap momen sekecil apapun bersama, dan tanpa kau tahu, bam, kau sedang menunggu sisa-sisa hidupmu yang sebagian besar kau habiskan untuk menghidupi ibu dan adikmu, akan berakhir begitu saja beberapa saat lagi. Hingga saja semua yang terjadi pada malam itu tidak terjadi, pada malam itu ….















CHAPTER 1:
48 jam 35 menit 12 detik sebelum bom meledak.

"Vit, lo nggak kemana-mana taun baru?" tanya Dessy sambil mencuci piring-piring kotor bekas konsumsi pelanggan. Dessy adalah rekan kerjaku di restoran wisata, Puncak, Cisarua. Aku dan keluargaku tinggal di kota yang sangat padat yang selalu dikunjungi keluarga untuk berlibur, kami tinggal di wilayah terpencil dan kumuh, keluarga kami tergolong sederhana tetapi masih membutuhkan banyak dana lagi, sehingga aku kerja paruh waktu di restoran ini. "Gue bosen nih, masa di sini aja taun baruan."

"Yaa kalo gue sih suka-suka aja disini, toh gue udah menghabiskan 25 kali taun baruan di sini dan nggak bosen-bosen tuh," jawabku dengan serius seiringan dengan melap piring-piring yang basah habis dari cucian Dessy, "Gada yang lebih nyaman dari rumah sendiri."

"Seandainya lo punya kesempatan buat pergi ke tempat lain gitu, lo masih mending disini gitu?" tanyanya lagi dengan raut wajah bingung sambil mengarahkan spons cuci piringnya padaku.

"Mungkin gue mau, tapi galama-lama. Ntar siapa yang jagain nyokap sama adek gue?" dengan sikap realistisku, aku menjawab.

"Susah emang ya jadi kepala keluarga," cibir Dessy. Aku hanya membalas dengan tawa sinis, aku tidak sepenuhnya marah karena apa yang dikatakannya memang benar.

Aku hidup dengan ibuku dan satu adik laki-lakiku yang masih berumur 12 tahun. Keluarga kecil kami mempunyai hubungan yang sangat dekat, ibuku walaupun sudah termasuk paruh baya, masih kuat untuk menafkahi kami waktu aku belum mampu untuk melamar kerja apapun. Aku masih sangat kecil saat aku menyaksikan kerja keras ibuku, tapi tidak terlalu kecil untuk merasakan kasih sayang yang ia sampaikan. Sekarang aku hanya ingin membuat ibuku bahagia dan nyaman bagaimanapun caranya.

"Vita, Dessy," ibu restoran memanggil kami dari pintu dapur, "Ini bonus kalian buat taun baruan, hari ini hari terakhir kerja kalian, kalian libur sampai minggu depan." ibu itu menaruh 2 amplop di meja dapur dan memberikan senyuman, "Selamat tahun baru."

"Selamat tahun baru, Bu!" kami berdua mengucapkan secara bersamaan dan mengambil amplop tersebut.

Setelah cucian selesai kamipun meninggalkan restoran dan pulang dengan angkutan umum. Di tengah jalan aku mampir di suatu jajanan pasar dan beli satu batang permen gulali berbentuk bola sepak untuk adikku, Alvin. Ia memang suka sekali dengan gulali dan bola, aku sesekali membelinya sepulang dari restoran, kadang untuk menghiburnya karena sudah aku tinggal seharian, melihat tawanya yang lebar dan menunjukan giginya yang ompong, bekerja seperti mantra untuk melepas semua capek dan pegal di punggungku dari seharian kuliah dan bekerja.

Sekitar jam 8 malam aku tiba di kawasan rumah dan mendengar suara yang sangat gaduh bahkan saat aku belum belok ke gang rumah. Aku merasakan sesuatu yang tidak enak, permen gulali yang aku beli untuk adikku terlihat retak dan hampir patah, kakiku membawaku ketempat kejadian perkara sangat cepat, tanganku bergemetar dan keringat dingin bercucuran tiada henti.

Kakiku akhirnya mencapai depan rumah dan dihadapanku ada segerombolan penduduk rumah menyaksikan beberapa lelaki berpakaian jas rapih dengan kacamata hitam, seperti aku sedang menyaksikan film Men in Black secara langsung. Mereka sedang berdiri di depan pintu seperti sedang menunggu seseorang.

"Ini ada apaan?" tanyaku kepada salah satu warga.

“Itu mbak, mas-mas itu dari tadi teriak-teriak ke rumah mbak, membuat lingkungan rumah jadi nggak nyaman.” Jawab sang warga.

Aku mendatangi mas-mas di depan rumahku yang ia maksud, bertanya hal yang sama, tetapi mereka hanya melihatku tanpa ekspresi dan terdiam tidak menjawab. Aku heran apa yang sebenarnya terjadi dan ibuku memanggil dari dalam.

“Vita, masuk cepat ke dalam!” aku segera membuka daun pintu rumah yang kecil itu dan mencari arah suara itu, aku menemukannya duduk terdiam dan kaku di ruang makan. “Mereka… penagih hutang ayahmu, nak.”

“Hutang? Bukankah kita sudah melunasi semuanya beberapa tahun yang lalu? Waktu itu ibu dan aku berkerja sangat keras untuk bisa hidup bebas dari hutang, kan?” aku mengingat-ingat, aku bahkan mengundurkan waktu kuliahku selama 2 tahun agar bisa mencari kerja dan mendapat penghasilan yang cukup hanya untuk hutang-hutang yang tidak berharga untuk semua kerja keras kami. Kami banting tulang untuk bisa tinggal di rumah kecil ini karena ini satu-satunya tempat tinggal yang kami miliki. Walaupun ibu mempunyai adik yang tinggal di sekitar sini, ia masih memegang teguh bahwa rumah tidak akan senyaman milik sendiri. Itu yang telah menjadi prinsip dasar hidup kami semua dan menjadi pemicu untuk melunasi hutang ayah kami. Kita melakukan ini bukan karena kita membiarkan ayahmu pergi, tetapi untuk menunjukan bahwa kita kuat dan bisa bersatu tanpa kehadiran dia. Begitu kata ibu.

“Itu yang kita kira selama ini, nak…” ibu berbicara sangat pelan, setiap kata-kata yang ucapkan terdengar sangat rapuh, “Ternyata ayahmu mempunyai hutang lain yang kita tidak pernah tahu sebelumnya…”

“Kenapasih tu orang ngutang segampang metik daun? Mending kalo dia sendiri yang ngelunasin, ini apa? Biarin istri dan 2 anak yang ngebayar semuanya?” selama ini aku hidup seperti dibayang-bayangi dengan semua kesalahan ayah. Aku bahkan ragu akan sudi memanggilanya sebagai ayahku sendiri lagi.

“Masalahnya bukan itu, Vita…” ibuku membantahku seakan ia membela ayah.

“Ibu juga masih bisa-bisanya aja belain ayah! Pernah berjasa apa dia buat keluarga kita, bu?” aku menyerangnya dengan kenyataan yang pahit yang harus aku katakan untuk menyadarkan ibuku.

“Masalahnya,” Ibu terdiam sejenak menarik dan membuang nafas panjang, “Ayahmu menjadikan adikmu sebagai jaminan hutangnya.” Dengan perkataanya yang singkat dan kuat, aku seperti sedang dihantam bola penghancur tepat di perut, yang membuatku tersedak dan seketika sulit untuk bernafas.

“Dimana… dimana Alvin sekarang, bu??” aku bertanya dengan sangat gugup tanganku tidak bisa diam sehingga aku menghancurkan permen gulali yang seharusnya untuknya.

“Ibu udah suruh Pade’ Ferry untuk menjemput Alvin dari sekolah dan memintanya untuk menjaga Alvin selamanya yang ia bisa,” meskipun ibu berkata demikian, kami tahu dalam hati terdalam bahwa semuanya tidak segampang itu.

“KAMI TIDAK AKAN PERGI SAMPAI ANAK ITU ADA DI TANGAN KAMI!!” teriak salah seorang pria berjas yang kulihat didepan rumah tadi, “TIDAK PEDULI BERAPA LAMA KAU MENYEMBUNYIKANNYA, KAMI AKAN SELALU MENEMUKANNYA!!”

Bulu kuduk kami berdiri dan darah kami mendingin, aku tidak tahu harus bagaimana, aku ingin menyelamatkan Alvin tapi itu berarti harus meninggalkan ibuku sendirian di rumah dengan orang-orang itu yang akan terus menghantui rumah kami, dan aku tidak berani untuk membiarkannya terjadi.

“Pergi, Vita, selamatkan Alvin,” ibu berkata memecahkan ketegangan dan seakan membaca pikiranku, “Ibu akan mengungsi ke rumah bibi sebelah.” Aku terdiam dan tidak bisa membalas apa-apa, “Ibu sudah berpengalaman tentang semua ini, mereka bisa merenggut semua harta kita, tapi ibu tidak akan biarkan mereka merampas nyawa adikmu sebagai pengganti apapun.”

Aku tidak menjawab, mencoba menahan air mataku yang akan jatuh.

“Ibu ingin kamu pergi Vita… Ibu percaya akan kekuatan sayang sang kakak pada adiknya,” suara ibu sudah mulai menenang, membuatku semakin tidak tega untuk meninggalkannya, “Kita ketemu lagi taun depan, ya?”

Aku tidak bisa menahan tangisku dan langsung memeluk ibu, “Iya ibu, kita ketemu taun depan ya…”

To Be Continued

1 comment: